THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES

Entri Populer

Jumat, 25 Maret 2011

masalah dalam PSSI

Kata Pengantar
Puji syukur haruslah kita panjatkanke hadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkat dan rahmat-Nya, makalah ini dapat diselesaikan dengan baik dan sesuai dengan yang diinginkan.
Sepak bola memang sudah mendarah daging dalam pemikiran kita sebagai rakyat Indonesia. Setiap ada sebuah event tentang persepakbolaan nasional, pasti masyarakat langsung meresponsnya. Ada yang merespons secara berlebihan, tetapi juga ada yang biasa-biasa saja. Tetapi respons masyarakat sering terhalangi oleh pihak-pihak bermasalah yang ingin membuat masalah. Dan dampak utamanya adalah penurunan prestasi Timnas Indonesia.
Makalah ini menyajikan apa-apa saja masalah dalam persepakbolaan Indonesia, seperti carut-marutnya pengurusan PSSI sebagai induk organisasi sepak bola Indonesia sampai pada kerusuhan supporter. Dan juga di bagian akhir makalah ini tersaji berbagai saran yang membangun dari penulis dan juga beberapa narasumber.
Terakhir, penulis memohon maaf bila ada kata-kata yang tidak berkenan dibenak para pembaca yang dapat menimbulkan salah persepsi. Dan juga penulis dengan lapang dada menerima berbagai kritik dan saran dari para pembaca. Semoga bermanfaat dan selamat membaca.
Yogyakarta, 2011
Penulis





BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
PSSI, yang merupakan induk organisasi sepak bola yang sudah diakui negara, telah diberi kepercayaan oleh negara untuk mengatur segala sistem dalam persepakbolaan Indonesia agar berjalan dengan baik sebagaimana semestinya. PSSI dibentuk pertama kali oleh Ir. Soeratin Sosrosoegondo pada tanggal 19 April 1930 di Yogyakarta. Tentunya, beliau berkeinginan membentuk PSSI dengan dilandasi oleh rasa cintanya pada tanah air, terutama pada sepakbola tanah air. Sehingga, mulai tahun 1966 diadakanlah turnamen Piala Suratin.
Saat ini seringkali kita sebagai rakyat Indonesia, yang juga ikut berperan serta dalam kemajuan negara, melihat apa yang dikerjakan PSSI tidak sesuai dengan keinginan kita. Kita pasti bersikap kecewa terhadap kinerja PSSI. Menyoroti kinerja PSSI memang sudah menjadi ”buah bibir warung kopi”, karena memang sangatlah enak dan melegakan jika sudah curhat tentang buruknya PSSI. Mulai dari keputusan-keputusan kontroversial dari sang ketua, yaitu Nurdin Halid, buruknya pembinaan pemain usia muda, sampai berita paling panas akhir-akhir ini, yaitu ketegangan antara PSSI dengan LPI (Liga Primer Indonesia).
Kita sebagai warga negara Indonesia, pasti sangat geram dengan kinerja buruk PSSI. Bahkan ada yang sampai membenci ketuanya. Jika ditelaah secara seksama, pasti banyak sekali usul dari masyarakat yang tidak ditanggapi oleh PSSI alias acuh tak acuh. Dan juga masih banyak masyarakat yang bingung, bagaimana caranya usul ke PSSI? Ataukah harus dengan demonstrasi?
Tetapi, kita tidak boleh menyalahkan sepenuhnya kegagalan persepakbolaan Indonesia ini kepada PSSI. PSSI memang salah, tetapi kita juga harus introspeksi diri. Apakah yang sudah kita lakukan untuk kemajuan sepakbola Indonesia? Dan bermacam pertanyaan lainnya. Jika tak ada PSSI, kita pun juga tak bisa terwakili dalam pentas sepakbola dunia.
Oleh karena itu, sangat banyaklah hal yang perlu diuraikan tentang masalah-masalah tersebut. Yang pasti, setelah masalah tersebut diuraikan, kita harus secepat mungkin memperbaikinya. Yang jelek harus kita buang dan yang baik harus kita tingkatkan. Dan juga tak kalah penting, kita harus berdoa kepada Tuhan YME agar Ia memberikan berkah-Nya atas apa yang sudah kita kerjakan.
1.2 Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran-gambaran yang lebih jelas dan rinci tentang makalah ini, penulis banyak mengutip dari berbagai sumber dan pustaka yang berhubungan dengan sepakbola Indonesia. Sumber-sumber digunakan pembaca dalam mencari referensi adalah Google (search engine), koran-koran bagian olahraga, dan juga sebuah buku dari Ganesha Putra yang membahas Pembinaan pemain usia muda.
Lalu, penulis juga membandingkan sistem persepakbolaan Indonesia dengan persepakbolaan negara lain yang lebih maju seperti Inggris, Spanyol, Brazil, dan yang paling penting adalah Jepang. Selain itu, sedikit pengalaman yang dipunyai penulis pun tertuang dalam makalah ini.
1.3 Ruang Lingkup
Makalah ini dibuat penulis untuk ditujukan terutama kepada para pengurus (baik pusat maupun daerah). Karena menurut penulis, pihak yang paling bertanggung jawab atas kemerosotan prestasi Timnas Indonesia adalah PSSI.
Selain itu, makalah ini cocok untuk dibaca oleh para suporter, pecinta bola tanah air, dan juga seluruh rakyat Indonesia. Makalah ini juga mengingatkan mereka yang selalu menghina dan menyudutkan PSSI agar mereka dapat menjadi tahu apa masalah utamanya supaya mereka juga ikut berpartisipasi dalam persepakbolaan nasional. Hal itu dimaksudkan agar tidak terjadi perpecahan, tetapi penulis ingin semua pihak yang terkait bersatu untuk kemajuan persepakbolaan Indonesia.
1.4 Tujuan
1. Tujuan Utama
Mencari dan menjabarkan masalah-masalah dalam persepakbolaan Indonesia serta mencari jalan keluarnya.
2. Tujuan khusus
a. Mengingatkan kepada PSSI sebagai induk organisasi sepakbola Indonesia agar menjalankan tugas dengan benar.
b. Menghimbau suporter untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak penting sehingga tidak mengganggu persepakbolaan Indonesia.
c. Memberikan pengetahuan kepada rakyat Indonesia agar lebih mencintai sepakbola Indonesia.













BAB 2
ISI
2.1 Tentang PSSI
Persatuan Sepak bola Seluruh Indonesia (PSSI) adalah organisasi induk yang bertugas mengatur segala bentuk kegiatan olahraga di Indonesia. Didirikan oleh Ir.Soeratin Sosrosoegondo di Yogyakarta pada tanggal 19 April 1930. PSSI dulunya bernama Persatuan Sepak raga Seluruh Indonesia.
PSSI bergabung dengan FIFA(Federation International Football Association) yaitu organisasi sepakbola dunia pada tahun 1952 dan juga bergabung dengan AFC (Asian Football Confederation). Sudah banyak prestasi yang membanggakan yang pernah digapai oleh Timnas Indonesia. Diantaranya yaitu menjadi tuan rumah Piala Asia yang ke-4 di Jakarta dan Timnas sendiri menjadi runner-up. Sempat mengirimkan pemain-pemainnya dalam jajaran pemain terbaik Asia, diantaranya adalah Soetjipto Soentoro, Jacob Sihasale, Iswadi Idris, dan beberapa pemain Timnas lainnya. Dan pada jaman itupun Timnas menjadi macan asia dan sempat menjadi kekuatan Asia dalam menghadapi tim-tim dunia seperti Brazil, Inggris, dan negara-negara kuat lainnya.
Namun prestasi yang emas itu sangat sulit terulang dimasa sekarang. Seperti sekarang, timnas Indonesia di kawasan regional pun tak bisa menguasai kejuaraan setingkat SEA GAMES dan juga Piala AFF. Seperti ada mata rantai yang terputus dari tahun ke tahun. Pembinaan usia muda yang harusnya menjadi kekuatan utama dalam membentuk suatu persepakbolaan yang maju, sudah digantikan dengan kehadiran pemain-pemain asing yang dengan mudah mengangkat popularitas klub.
Nah, banyak sekali masalah yang dimiliki PSSI sekarang. Mulai dari krisis Ketua Umum yang menyebabkan ketidakpercayaan masyarakat, pembinaan usia muda yang sangat minim, dan setumpuk masalah yang sejak lama belum terselesaikan. Sampai-sampai, pemerintah yang tidak berhak untuk mengintervensi organisasi yang satu ini, mau ikut-ikutan membantu. Juga presiden FIFA, Sepp Blatter, ikut membuat statement untuk menenangkan perasaan masyarakat. Yang jelas, saat ini sangatlah dibutuhkan orang-orang yang independen yang mau bekerja keras untuk memajukan kembali sepakbola Indonesia.
2.2 Masalah-masalah PSSI saat ini
Setelah pada awal tadi kita sudah membicarakan tentang profil dan segalanyanya tentang PSSI, sekarang kita akan membahas tentang apa problem atau masalah yang sekarang dipunyai PSSI. Mengapa harus ditanyakan? Karena sudah kita ketahui bahwa dewasa ini sepak bola Indonesia tengah dalam masa krisis. Karena mengapa, sejak tahun 1991 kita menjuarai SEA games atau pesta olahraga se-Asean, kita tak pernah merebut juara apapun. Apalagi setelah tampuk kepemimpinan pada tahun 2003 mulai dipegang oleh Nurdin Halid, mantan manajer PSM Makasar yang dianggap sukses membawa PSM Makasar menjuarai Liga Indonesia tahun 199 .Praktis, tak ada prestasi membanggakan yang digapai PSSI. Hanya pada tahun 2005 Indonesia menjuarai Piala Kemerdekaan karena tim Oman mengajukan walk out (WO) karena ia merasa dianiaya oleh official tim Indonesia. Jadi, sekarang ini tak ada yang lebih penting selain mengorek masalah dalam tubuh PSSI sekaligus mencari jalan keluar atas permasalahan itu.
2.2.1 Timnas Garuda yang Miskin Prestasi
Miskin prestasi. Ya kata itulah yang dapat kita sematkan di dada persepakbolaan Indonesia saat ini, terutama setelah memasuki abad 21. Karena apa? Sejak tahun 1991, timnas garuda belum sekalipun mendapat gelar baik itu di ASEAN, Asia, bahkan dunia. Klub-klub di liga Indonesia pun demikian, sejak hilangnya era Galatama yang memunculkan nama Kramayuda Tiga Berlian yang dapat sampai peringkat 3 liga champions Asia, tak ada lagi klub Indonesia yang membanggakan, bahkan untuk lolos ke fase knock out pun susah. Ya, adalah satu dua klub yang masuk fase knock out, seperti PSMS Medan yang sempat sampai perempat final Piala AFC, satu tingkat dibawah Liga Champions Asia.
Sudah lama kita tidak melihat sosok-sosok seperti Sucipto Soentoro, Jacob Sihasale, Iswadi Idris di era 60-an. Ataupun bek tangguh seperti Rony Pattinasarani di era 70-an. Ataupun striker sekelas Bambang Nurdiansyah dan Widodo C. Putro di era 90-an. Sudah lama kita tidak melihat timnas kita menang melawan tim yang bukan medioker, seperti Jepang, Korsel, atau negara-negara Arab.
Ya, prestasi Timnas di era 60an-70an boleh dibilang masa keemasan. Disana banyak trofi yang diraih begitu mudah oleh timnas Indonesia. Mulai dari prestasi yunior sampai ke prestasi senior, dan proses semuanya berkelanjutan. Dan juga karena pada jaman itu Indonesia cukup dengan mengandalkan talenta luar biasa yang dimiliki para pemainnya yang dilatih secara baik oleh pelatih asal Yugoslavia, Tony Pogacknik. Plus “manajemen dari hati ke hati” oleh para pengurus PSSI yang mampu membangkitkan nasionalisme pemain sehingga daya juang pemain meningkat, meskipun mereka hanya menerima honorarium selama pelatnas dan tidak menerima gaji tetap. Yang ada adalah iming-iming heroik: “Akan diterima oleh Presiden RI, Bung Karno, di Istana Merdeka jika berhasil menjadi juara”. Maklum saja, soal dana PSSI semata-mata hanya mengandalkan hasil jualan karcis manakala timnas Indonesia melawan kesebelasan asing kelas dunia main di stadion Senayan, Jakarta. Ditambah sedikit saja dari para donatur gila bola. Sementara pada sisi lain, di hampir semua negara Asia belum ada kompetisi sepakbola profesional. Sehingga pertumbuhan kualitas sepakbola Asia tidak berkembang sepesat seperti sekarang ini.
Maka adalah sangat membanggakan, ketika Indonesia berhasil menduduki posisi elite sepakbola Asia bersama Israel (ketika itu masih masuk zona Asia, belum masuk ke zona Eropa seperti sekarang), Burma (Myanmar sekarang) dan Iran. Kesebelasan Jepang dan Korea Selatan itu dulu dipermak rata-rata 4-0 oleh Indonesia. Taiwan bahkan pernah dicukur oleh Soetjipto Soentoro dengan skor 11-1 di Merdeka Games 1969. Jangan ceritera soal Thailand, Malaysia dan Singapura, mereka nggak level dengan Indonesia. Sedangkan jazirah Arab bahkan ”belum bisa bermain sepakbola” karena federasi sepakbola pun mereka belum punya (negara-negara Arab berkembang pesat sepakbolanya dengan merekrut pelatih kelas dunia asal Brazil ketika mereka mendapat anugerah minyak bumi dan gas mulai pertengahan tahun 1970-an).

Bayangkan. Tim Asian All Stars 1966-1970 itu 4 pemainnya berasal dari Indonesia yakni Soetjipto Soentoro (sekaligus bertindak sebagai kapten), Jacob Sihasale, Iswadi Idris dan Abdul Kadir. Bahkan kalau nggak malu hati sama negara-negara lain, Basri, Anwar Ujang dan Yudo Hadiyanto pun sebenarnya mau ditarik oleh AFC (Asian Football Confederation) untuk mengisi skuad bintang-bintang Asia tersebut.
Jepang pun Belajar ke Indonesia
Bahkan untuk masalah manajemen sepakbola, Jepang benar-benar belajar dari Indonesia manakala mereka mempersiapkan J-League. Mengapa? Karena Indonesia sudah memiliki liga sepakbola utama Galatama yang dimulai tahun 1979 di era Ali Sadikin. Fandi Ahmad dan David Lee (Singapura) memperkuat Niac Mitra dan Jairo Matos (Brazil) memperkuat Pardedetex, Medan.
Dan atmosfir pertandingan juga sangat mendukung. Kalau klub Warna Agung, Indonesia Muda dan Jayakarta bertanding melawan Niac Mitra atau Pardedetex, maka stadion Senayan dengan kapasitas 110.000 pun penuh sesak. Namun dalam perkembangan kemudian, setelah Ali Sadikin “dilengserkan” Presiden Soeharto, kompetisi PSSI pun ikut-ikutan melorot. Suap merajalela merasuki pemain, wasit dan juga pengurus. Judi sepakbola menambah runyamnya nasib sepakbola Indonesia karena konon mafianya berporos Semarang-Jakarta- Kuala Lumpur-Hong Kong-Makao. Maka Galatama hancur lebur. Bahkan tim Perserikatan Persib, Bandung pernah menghancurkan tim Galatama Arema Malang di stadion Gajayana Malang, dengan skor telak 4-0 pada tahun 1984.

Nah mengapa J-League sekarang jauh lebih bersinar dibanding Indonesia Super League? Karena Jepang memiliki manajemen bagus ditopang dana yang banyak . Sehingga setiap klub mampu merekrut sedikitnya tiga pemain berstandar Eropa atau dunia. Ditambah industri negaranya yang sangat maju dan mau menjadi sponsor J-League. Semua stake holder kompetisi J-League sangat berperilaku profesional dan sangat kondusif bagi tumbuh kembangnya kompetisi.
Tak mengherankan bila kompetisi yang bagus bermuara ke timnas Jepang yang bagus pula. Jepang sekarang adalah mirip bahkan melebihi Indonesia pada jaman keemasan dulu. Sekarang timnas Indonesia belum pernah menang lagi lawan kesebelasan nasional Jepang. Jepang jadi pelanggan wakil Asia bersama Korsel ke Piala Dunia. Bahkan sekarang pemain-pemain Indonesia sudah kalah sebelum bertanding bila mendengar nama besar Nakamura dkk
Upaya Perbaikan
Menegpora Andi Mallarangeng, restunya Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono), peran sertanya PWI Pusat, dengan ujung-ujung tombaknya wartawan senior sepakbola Indonesia dan seluruh masyarakat harus bahu membahu membangun sepakbola Indonesia, sangat membahagiakan publik sepakbola Merah Putih. ’’Andaikata sejak dulu hal ini dilakukan, prestasi tim nasional Indonesia tidak akan seburuk sekarang.’’
Sebab, maju mundurnya sepakbola nasional sejatinya bukan semata-mata hasil kerja PSSI (Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia) yang berdiri sejak 1930 itu. PSSI hanyalah salah satu bagian integral dari para pembangun sepakbola nasional.
Contohnya era Presiden RI pertama Ir. Soekarno yang akrab disapa Bung Karno. Indonesia tidak akan bisa menjadi tuan rumah Asian Games IV tahun 1962 andaikata waktu itu Bung Karno tidak nekad membangun stadion terbesar sepakbola di Asia Tenggara (waktu itu) yang bernama Stadion Utama Senayan.
Dalam pesta olahraga Asia 1962 itu, tim nasional sepakbola Indonesia berhasil merebut posisi runner up (medali perak). Januar Pribadi dan kawan-kawan kalah 0-1 oleh Timnas RRT (Republik Rakyat Tiongkok).
Andaikata Bung Karno waktu itu tidak nekad membangun kompleks olahraga Senayan – yang tidak ada duanya di Indonesia sampai sekarang – Indonesia juga tidak akan bisa menjadi tuan rumah Ganefo (Games of the New Emerging). Terlepas dari masalah pro-kontra dengan politik Bung Karno, sangat jelas sejarah membuktikan bahwa sepakbola bukan semata-mata tanggung jawab PSSI.
Pokok permasalahannya adalah membangun sepakbola nasional menuju prestasi Asia, apalagi prestasi dunia, tidak akan mungkin ditentukan oleh seorang Nurdin Halid. Siapa pun ketua umum PSSI-nya, tidak akan bisa serta merta dalam waktu satu sampai dua tahun mendongkrak prestasi nasional ke level Asia. Katakanlah mampu lolos ke babak semifinal Piala Asia 2011. Atau bahkan semifinal Piala Asia 2015.
Banyak Faktor Penyebab
Sepakbola Indonesia saat ini dihadapkan pada empat faktor krusial yang disadari atau tidak ’’menenggelamkan’’ prestasi tim nasionalnya, klub profesionalnya dan seterusnya. Siapa pun ketua umum PSSI-nya, kalau empat faktor krusial tersebut tidak diatasi dengan baik, jangan bermimpi di siang bolong untuk mencapai tingkat prestasi Asia.
Empat faktor krusial itulah sejatinya substansi dari fenomena keterpurukan tim nasional Indonesia. Nah, di sini peran pemerintah (utamanya Presiden) sangatlah besar. Termasuk seluruh anggota Dewan Perwakilan Republik Indonesia Rakyat (DPR RI).
Faktor krusial pertama adalah tidak tersedianya infrastruktur yang berstandar FIFA, terutama di sentra-sentra kekuatan (centers of power) sepakbola Indonesia. Yang saya maksudkan bukan stadion sepakbola, tapi lapangan-lapangan sepakbola untuk ajang latihan dan pembinaan para pemain bocah sampai usia 21 tahun.
Kenyataan yang terjadi sejak rezim Orde Baru sampai era Reformasi sekarang, ratusan bahkan mungkin ribuan lapangan sepakbola di seluruh Indonesia tergusur dan musnah. Kemudian di atas lapangan sepakbola itu kini telah dibangun pompa bensin, pertokoan, perumahan mewah, hypermart dan sebagainya.
Bagaimana mungkin klub-klub Divisi Utama, klub-klub Indonesia Super League, dan muaranya Tim Nasional bisa memperoleh pasokan pemain-pemain sepakbola berkualitas Asia, kalau mereka tidak digembleng di atas lapangan yang berkelas FIFA? Bagaimana mungkin mereka memiliki skill dan teknik tinggi, passing cepat dan akurat, kontrol bola yang lengket, jika lapangan yang dipakai benjol-benjol.Tanyakan kepada para pemain bintang Indonesia, atau mantan bintang tim nasional Indonesia, bisa nggak lapangan jelek menghasilkan pemain berteknik tinggi?
Nah, tentunya sudah banyak pihak yang mengusulkan untuk memperbaiki masalah ini. dan mungkin kemunduran ini sudah cukup jauh bagi bangsa kita untuk mengulang prestasi seperti jaman dahulu. Namun tak ada yang tak mungkin. Hanya niat hati yang tulus, yang benar-benar berkeinginan untuk memajukan persepakbolaan Indonesia-lah yang dapat melakukannya. Dan semuanya harus dilakukan dengan kerja keras. Tak ada yang tak mudah. Karena mengapa? Prestasi merupakan tolak ukur suatu keberhasilan sebuah proses yang paling pertama dilihat.
2.2.2 Krisis kepemimpinan di era Nurdin Halid.
Isu yang paling hangat terdengar saat ini adalah permasalahan bursa ketua umum PSSI periode 2011-2015. Dan salah satu masalah utamanya adalah pencalonan Nurdin Halid menjadi ketua umum PSSI yang sebagian besar kalangan ia melanggar statuta PSSI, terutama statuta FIFA. Karena mengapa, Nurdin yang kita ketahui selama ini adalah mantan koruptor saat ia menjabat sebagai ketua umum Dewan Koperasi Indonesia dengan mengkorupsi gula impor, minyak goreng, dan juga beras impor dari Vietnam.
Memang, sosok Nurdin adalah sosok yang sangat berbeda. Ia adalah satu-satunya pemimpin organisasi sepakbola suatu negara di dunia yang memimpin di dalam penjara. Padahal, jelas-jelas statuta FIFA menyebutkan bahwa seorang ketua umum sebuah asosiasi sepakbola di suatu negara tidak sedang menjalani hukuman penjara dan tidak pernah tersangkut kasus pidana. Nah, jelas-jelas Nurdin sudah melanggar peraturan ini. Dan juga statuta PSSI pun ia langgar meskipun banyak peraturan yang menyimpang dari statuta FIFA.
Nurdin memang pernah mencapai karir yang baik saat ia menjadi manajer PSM Makassar dan pada waktu itu pun ia membawa PSM menjuarai liga Indonesia. Banyak kesalahan yang dibuat Nurdin, mulai dari pelanggaran peraturan, politik, dan juga korupsi dana. Namun, dari kacamata dunia sepakbola, lebih banyak kesalahan yang dibuat Nurdin bagi bangsa ini ketimbang prestasi yang ia raih. Kesalahan-kesalahan itu antara lain:
1. Menggunakan politik uang saat bersaing menjadi Ketua umum PSSI pada November 2003 bersama Soemaryoto dan Jacob Nuwawea.
2. Mengubah format kompetisi dari satu wilayah menjadi dua wilayah demham memberikan promosi gratis kepada 10 klub yaitu Persegi Gianyar, Persiba Balikpapan Persmin Minahasa, Persekabpas Pasuruan, Persema Malang, Persijap Jepara, Petrokimia Gresik, PSPS Pekanbaru, Pelita Jaya dan Deltras Sidoarjo.
3. Terindikasi jual beli trofi sejak musim 2003 lantaran juara yang tampil punya kepentingan politik karena ketua atau manajer pemilik tim tersebut bertarung dalam Pilkada yaitu Persik Kediri (2003), Persebaya Surabaya(2004), Persipura Jayapura (2005), Persik Kediri(2006), Sriwijaya FC(2007), dan Persipura (ISL 2008/2009).
4. Jebloknya prestasi Timnas, yakni 3 kali gagal lolos ke semifinal SEA Games (2003,2007, 2009). Tahun 2005 lolos semifinal, tetapi ketika dipimpin Pjs Agusman Efendi (karena Nurdin Halid dipenjara).
5. Membohongi FIFA dengan menggelar Munaslub di Makassar tahun 2005 untuk memperpanjang masa jabatannya.
6. Tak jelasnya laporan keuangan terutama dana Goal Project dari FIFA setiap tahunnya.
7. Banyak terjadi suap dan makelar pertandingan, dan juga melibatkan beberapa petinggi PSSI seperti Kaharudinsya dan Togar Manahan Nero.
8. Tak punya kekuatan untuk melobby pihak kepolisian sehingga sejumlah sering tidak mendapat izin dan digelar tanpa penonton.
9. Satu-satunya Ketua Umum PSSI yang memimpin organisasi di balik jeruji besi.
10. Terlalu banyak intervensi terhadap keputusan Komdis sebagai alat lobi menjaga posisinya sebagai ketua umum.
Nah, sudah kita lihat beberapa hasil asuhan Nurdin Halid yang berbau kontroversial. Namun tak boleh kita menimpakan semua kesalahan ini pada ”Bang Nurdin” ini. Tetapi statement saya yang satu ini bukanlah pembelaan.


2.2.3 Buruknya pembinaan pemain usia muda
Menurut Ganesha Putra, dalam bukunya yang berjudul “Kutak-katik Sepakbola Usia Muda”, ia menuturkan bahwa sepakbola selalu berkembang detik tiap detik. Ia juga menuturkan suatu kesimpulan yang ia lihat dari Piala Dunia dan Piala Eropa, yaitu kunci utama untuk memajukan suatu persepakbolaan adalah pembinaan pemain usia muda yang berkualitas. Ia berkata atas dasar pantauannya terhadap timnas Jerman yang pada tahun 2006, 2008, dan 2010 termasuk sukses menempatakan pemain-pemain muda, seperti Mesut Ozil, Lukasz Podolski, dan juga Jerome Boateng dan terbukti mereka termasuk timnas yang sukses dengan selalu masuk di jajaran 4 besar di tiap kompetisi.
Dalam perkembangannya, masalah yang Ganesha Putra tuturkan tersebut pantas kita sematkan dalam organisasi PSSI. Karena mengapa, PSSI dewasa ini sudah “hampir gagal” dalam melakukan hal yang namanya pembinaan pemain usia muda. Karena dalam kenyataannya, timnas U-11 sampai timnas senior pun nihil prestasi. Karena memang untuk melahirkan seorang pemain yang profesional dan berskill tinggi, pembinaan harus dilakukan secara berkualitas dan minimal hal tersebut harus sudah dilakukan dari anak yang berumur 6 tahun sampai yang remaja juga harus menerimanya dengan tidak terputus-putus sehingga saat dewasa nanti pemain tersebut sudah kaya pengalaman dan mempunyai skill yang mumpuni.
Sebenarnya bibit-bibit pemain muda berkualitas yang mempunyai darah Indonesia sendiri sudah sangat banyak dan bagus. Tetapi, pembinaannya yang kurang. Seperti anak-anak di desa yang setiap siang hari bermain bola, pastilah mempunyai fisik yang kuat. Hanya tinggal mengasah skillnya saja. Akan tetapi pencarian bibit ini yang kurang. Kadang sekolah-sekolah sepakbola hanya menerima anak-anak yang bisa membayar, padahal banyak bibit pemain berkualitas yang berasal dari kalangan rendah dan bahkan tak mampu setiap hari makan. Lihat Noh Alam Syah, ia adalah mantan anak jalanan di Singapura. Tetapi karena kepiawaiannya dalam mengolah si kulit bundar, ia dibina oleh Singapura dan menjadi goal getter Singapura yang sangat tajam dan ditakuti oleh lawan-lawannya. Bahkan, ia berhasil membawa Arema Indonesia menjadi kampiun Liga Super Indonesia tahun 2010 yang lalu.
Dan ada juga bibit pemain berdarah Indonesia yang memilih untuk dibina di luar negeri. Seperti Irfan Bachdim yang merupakan binaan akademi sepakbola Ajax Amsterdam, sempat bermain di Eredivisi Belanda untuk F.C. Utrecht. Dan ketika ia sudah menjadi pemain Indonesia, skillnya sangat melebihi pemain-pemain Indonesia seusianya. Begitu juga dengan Syamsir Alam. Pemain binaan klub Uruguay, Penarol, ini sempat diincar oleh Uruguay untuk dinaturalisasi. Akan tetapi, ia lebih mencintai tanah airnya dan sekarang menjadi punggawa timnas Indonesia U-19 dan terbukti skillnya sangat mumpuni.
Tengok juga Raja Nainggolan. Pemain berdarah Batak-Belgia yang sekarang berumur 23 tahun ini bermain untuk salah satu tim di Serie-A liga Italia, yaitu Cagliari. Dan ia pun menjadi pilihan utama pelatih Cagliari untuk menjadi winger kiri. Sayangnya, ia sudah diambil Belgia U-23 untuk menjadi pemainnya.
Dan pemain pribumi yang menurut saya paling sukses di dunia adalah Giovanni van Bronckorst. Pemilik tendangan gledek berdarah Maluku-Belanda ini bisa bermain sebagai gelandang maupun bek sayap kiri. Ia pun mempunyai jiwa kepemimpinan yang baik dan membawa FC. Barcelona menjadi jawara Liga Champions tahun 2005 dengan mengalahkan Arsenal. Ia juga menjadi Kapten timnas Belanda di Piala Dunia Afsel tahun lalu dan membawa tim Hooge-Veluwe menjadi finalis karena dikalahkan oleh timnas Spanyol. Kontribusinya bagi tim juga Sangat bagus dengan 1 gol tendangan jarak jauhnya yang menjadi gol terbaik Piala Dunia.
Dari uraian tersebut, dapat diambil kesimpulan bahwa bibit pemain pribumi sangatlah baik, berkualitas, profesional, dan pekerja keras. Sayangnya, PSSI sebagai pusat segala kehidupan sepakbola Indonesia, tidak dapat memanfaatkan menjadi hal yang sangat berguna bagi sepakbola Indonesia. Dan kunci utama yang masih menjadi problema tersebut hanyalah pembinaan pemain usia muda yang “berkualitas”. Sebetulnya, PSSI belumlah gagal total dalam hal ini. Mereka hanya perlu bekerja keras dengan penuh semangat untuk kemajuan tersebut. Sayangnya, semangat tersebut yang tampaknya sering naik turun. Seperti saat Piala AFF berlangsung, animo pecinta bola sangat tinggi. Namun, seiring dengan kekalahan Timnas Indonesia terhadap Malaysia, semangat itupun semakin lama semakin luntur. Tentunya, masyarakat mengarahkan kekesalannya hanya kepada PSSI.
Seharusnya, masyarakat tak boleh kesal lalu berbuat anarkhi dengan demo di depan PSSI. Bukan bermaksud membela, tetapi menurut saya hal tersebut kurang berguna. Karena mengapa, hal pertama yang menurut saya sangat penting sekarang ini adalah semangat persatuan dari seluruh stakeholder. Lihatlah Jerman setelah perang dunia ke-2, negara itu hancur lebur. Semua jembatan Hitler hancurkan. Kota Berlin terbagi menjadi 2. Gedung-gedung hancur dan Jerman terlihat seperti tak punya harapan lagi alias tamat.
Namun, semangat persatuan timbul. Meskipun Jerman terbagi 2, tetapi mereka bersaing dengan sehat. Pembangunan dilakukan, seperti usaha-usaha kecil bermunculan di Jerman. Seluruh penjuru dunia datang ke Jerman untuk bekerja, karena Jerman sendiri kekurangan SDM akibat perang. Selain itu, munculah bibit-bibit perkawinan silang yang tentunya sangat berkualitas. Bahkan Jerman Barat pada tahun 1954 menjadi juara dunia dengan mengalahkan Hingaria yang pada waktu itu tengah dalam masa puncaknya di era Ferenc Puskas. Jerman Barat dan Timur juga sempat bertemu di fase Grup Piala Dunia 1970. Dan sampai akhirnya, Piala Dunia 2006 digelar di Jerman.
Hal itu membuktikan bahwa semangat persatuan antar insan memang merupakan kunci pintu pertama dalam memulai suatu aksi positif. Semangat itu pula yang sekarang harus dipunyai PSSI dalam menghadapi masalah-masalah pembinaan pemain usia muda, seperti:
1. Sedikitnya ruang olahraga publik. Karena semua tempat sudah digunakan untuk perumahan, sekarang fasilitas lapangan sepakbola yang bagus sudah jarang dan berimbas pada malasnya orang untuk bermain sepakbola.
2. Padatnya kegiatan belajar mengajar. Dahulu kegiatan belajar mengajar hanya berlangsung hingga jam 1-2 siang. Tiap sore, anak-anak dan remaja dapat bermain sepakbola jalanan 2-3 jam. Kini, fenomena tersebut sirna seiring dengan sekolah hingga jam 4 sore. Belum lagi ditambah dengan kegiatan pelajaran tambahan dan juga les/kursus.
3. Buruknya kurikulum olahraga di sekolah. Ditengah padatnya jam belajar formal, tidak diikuti dengan kurikulum pendidikan jasmani yang kontributif. Praktis siswa hanya berolahraga 80-90 menit/minggu.
4. Minimnya kompetisi usia muda berkualitas. Sejak bergulirnya Liga Indonesia tahun 1994, perhatian klub-klub terhadap pembinaan usia muda sangatlah rendah. Kompetisi anak gawang, remtar di tiap-tiap daerah banyak yang mati suri. Gairah untuk berkompetisi pun menurun waktu demi waktu.
Berbagai problema pembinaan usia muda di atas sebenarnya berujung pada suatu konsekuensi. Yakni buruknya kemampuan khasanah gerak atletik dasar para calon pesepakbola. Dengan ketiadaan ruang bermain, serta sedikitnya jam bersepakbola, kemampuan gerak atletik calon pesepakbola tidak pernah terasah. Ini ditambah lagi dengan buruknya kurikulum olahraga di sekolah yang tidak pernah terfokus pada pengayaan khasanah gerak atletik dasar, seperti cara berjalan, berlari, melompat, berbelok, dll.
Dalam konteks pengembangan sepakbola, berkurangnya kesempatan untuk memainkan sepakbola jalanan juga sangatlah merugikan. Sepakbola jalanan sangatlah efektif dalam membentuk pesepakbola tangguh. Dengan jumlah pemain sedikit dan area lapangan kecil, pemain menjadi banyak bersentuhan dengan bola. Semua pemain juga biasanya dapat berpartisipasi tanpa harus menunggu giliran untuk bermain. Singkat kata, keberadaan sepakbola jalanan membantu proses pembinaan usia muda. Terutama dalam hal menumbuhkan kecintaan anak pada permainan sepakbola.
2.2.4 Kontroversi LPI
Anda mengikuti ‘kisruh’ PSSI dengan Konsorsium LPI [Liga Primer Indonesia]? Ya isu hangat yang sekarang sedang berkembang adalah munculnya satu liga baru bertajuk Liga Primer Indonesia, yang berusaha menandingi Liga Super Indonesia yang sudah lebih dulu eksis. Konsorsium yang digagas Arifin Panigoro ini berpendapat bahwa Liga yang sekarang sudah jauh dari sehat dan fair. Sistem Keuangan yang masih saja menyusu pada APDB, pembinaan usia dini yang tidak berkembang, mafia wasit, juga korupsi di lingkungan pejabat teras PSSI menjadikan dirasa perlu ada liga alternatif untuk menangkis kebobrokan itu dan menghasilkan timnas yang bermutu.
Tentu saja PSSI tidak terima dkatakan seperti itu. Walalupun PSSI mempunyai riwayat muka badak, alias tidak tahu malu itu, namun kali ini PSSI bertindak sangat tegas. Pemain yang ikut LPI ditutup karirnya untuk berlaga mewakili Indonesia di ajang internasional, pelatih yang terlibat akan dicabut lisensinya, pemain asing yang terlibat akan diusulkan untuk dideportasi, serta official pertandingan macam wasit yang terlibat akan lanngsung dipecat dan dilarang berkegiatan di sepakbola lagi. Ancaman yang tidak main-main tentu saja.
Namun toh LPI tetap jalan dan sebentar lagi pertandingan pembuka akan dilangsungkan. PSSI juga semakin panas. Solusinya PSSI melaporkan LPI ke Kepolisian agar liga tidak dapat diselenggarakan. Mereka berdalih LPI melanggar statute PSSI juga UU UU Sistem Keolahragaan Nasional No 3 Tahun 2005 yang mengharuskan kompetisi harus seizin Organanisasi Induk. Menarik.
Mari kita lihat dalil PSSI seperti yang dilansir dari Republika.com:
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA — PSSI menyebut Liga Primer Indonesia adalah ilegal. Seperti dikutip situs resminya, inilah alasan organisasi pimpinan Nurdin Halid itu menyebut LPI sebagai kompetisi ilegal.

Undang – Undang Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2005.

Pasal 51 pada Bab IX Siskornas ayat 2 mengenai Penyelenggaraan Kejuaraan Olahraga, disebutkan, “Penyelenggaraan kejuaraan olahraga yang mendatangkan langsung massa penonton wajib mendapatkan rekomendasi dari induk organisasi cabang olahraga bersangkutan dan memenuhi peraturan perundang-undangan”

Pelanggaran dari peraturan dan ketentuan sebagaimana yang tertuang pada Pasal 51 Siskornas, dipaparkan secara jelas pada Pasal XXII Siskornas mengenai Ketentuan Pidana.
Pasal 89 Bab XXII Siskornas menyebutkan,
1. Setiap orang yang menyelenggarakan kejuaraan olahraga tanpa memenuhi kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan/atau kerja denda paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu miliar rupiah);

2. Apabila perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menimbulkan kerusakan dan/atau gangguan keselamatan pihak lain, setiap orang dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah);
Statuta PSSI
Statuta PSSI dalam pasal 1 Ketentuan Umum bahwa Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia merupakan satu – satunya organisasi sepakbola nasional di wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia. Untuk selanjutnya di dalam Statuta PSSI disebut PSSI, dan/ atau The Football Association of Indonesia.
Pasal 79 Bab XII Statuta PSS tentang Kompetisi, disebutkan, 1. PSSI mengatur, mengelola dan menyelenggarakan kompetisi-kompetisi resmi di dalam wilayahnya sebagai berikut; a. kompetisi profesional, b. kompetisi amatir, c. kompetisi kelompok umur, d. kejuaraan sepakbola wanita, e. kejuaraan futsal.
Statuta PSSI sebagai dasar hukum pelaksanaan kegiatan sepakbola di wilayah Republik Indonesia sesuai dengan Statuta FIFA, dan Statuta AFC yang di dalamnya mengatur Kode Etik dan Kode Disiplin.
Pasal 84 Bab XII Statuta PSSI adalah, PSSI tidak diperkenankan melakukan pertandingan atau melakukan hubungan keolahragaan dengan asosiasi-asosiasi yang bukan anggota FIFA atau dengan anggota suatu Konfederasi tanpa persetujuan FIFA.
Sedangkan Pasal 85 Bab XII selengkapnya berbunyi,” Klub, Liga atau setiap kelompok klub yang berafiliasi dengan PSSI tidak boleh menjadi anggota di Asosiasi lainnya atau berpartisipasi dalam kompetisi-kompetisi yang berada di wilayah kewenangan Asosiasi lainnya. tanpa adanya izin dari PSSI dan Asosiasi lainnya tersebut dan juga tanpa izin dari FIFA, kecuali dalam keadaan-keadaan tertentu”.
PSSI boleh saja menyerang LPI dan bahkan melaporkan pada Kepolisian untuk melarang LPI digelar tapi LPI tidak tinggal diam. Mereka mempunyai landasan hukum tersendiri untuk menyelenggarakan kompetisi yaitu PP No. 16/2007. Menurut mereka PP 16/2007 adalah lex specialis dari UU Sistem Keolahragaan Nasional No 3 Tahun 2005 yang merupakan lex generalis. Dalam hal ini ada kaidah lex specialis derogate legi generalis, yang artinya kurang lebih peraturan yang khusus menghapuskan peraturan yang bersifat umum.
Berikut pernyataan LPI seperti dikutip dari Tempo Interaktif:
Ketentuan itu ditegaskan dalam Pasal 36 ayat (3) PP No.16/2007. Peraturan itu berbunyi “Pemerintah berkewajiban memberikan pelayanan dan kemudahan kepada INDUK ORGANISASI CABANG OLAHRAGA, induk organisasi olahraga fungsional, DAN/ATAU ORGANISASI OLAHRAGA PROFESIONAL untuk terciptanya prestasi olahraga, lapangan kerja, dan peningkatan pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat 1“.
LPI dalam dokumen hukumnya juga merujuk pada Pasal 36 ayat 1 dan ayat 2 PP No. 16 2007. Bunyi ayat 1 mengatakan “Pembinaan dan pengembangan olahraga profesional dilaksanakan dan diarahkan untuk terciptanya prestasi olahraga, lapangan kerja, dan peningkatan pendapatan. Adapun bunyi ayat mengatakan “Pembinaan dan pengembangan olahraga profesional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh induk organisasi cabang olahraga, induk organisasi olahraga fungsional dan/atau organisasi olahraga profesional .”
LPI, dalam dokumen hukumnya mengatakan bahwa PP No.16/2007 merupakan peraturan khusus atau “lex specialis”. Peraturan itu hanya sesuai dengan prinsip hukum yang berlaku secara universal sekaligus mengalahkan ketentuan dari setiap peraturan yang umum atau “lex generalis”.
LPI melalui rilisnya menyatakan mereka adalah Organisasi Olahraga Profesional jadi berhak untuk menyelenggarakan liga. Menarik melihat perseteruan itu dari sisi hukum. PSSI boleh saja keukueh memperkarakan LPI dengan segala legal-nya tapi legal dalam bentuk UU dan Statuta itupun sangat debatable. Silahkan merujuk ke sini untuk melihat bantahan argumentatif dari salah seorang kaskuser atas ajuan dasar hukum yang digunakan PSSI untuk memperkarakan LPI.
Demi kemajuan Sepakbola sebenarnya PSSI tidak harus kebakaran jenggot seperti itu. Toh LPI tidak bermaksud menghapus ISL. Konsorsium LPI bahkan sudah mengajukan surat ke PSSI untuk menyelenggarakan laga ini tapi tidak diproses PSSI. Semakin banyak liga, apalagi yang professional, tentu pilihan pemain yang bisa masuk timnas makin banyak. Dan tentu itu akan semakin meningkatkan peluang naiknya prestasi olahraga kita. PSSI juga seharusnya tidak berhak sama sekali untuk menutup peluang seseorang untuk mengharumkan nama bangsa. Diktator sekali. Jika ada pemain Indonesia mempunyai skil sekelas Ronaldo, Messi, Xavi, Rooney atau lainnya dan kebetulan main di LPI masa ya tidak bisa masuk timnas? 
2.2.5 Kerusuhan Suporter
Kerusuhan suporter cenderung meningkat dan semakin anarkistis. Pemicunya cukup kompleks, mulai dari fanatisme berlebihan kepada klub, soal wasit, kinerja panitia pertandingan, hingga minimnya sarana ekspresi suporter. 
Demikian pengamatan dan rangkuman pendapat para suporter di sejumlah daerah, Jumat (19/3). Dalam lima bulan terakhir, kerusuhan suporter meledak di sejumlah tempat di Tanah Air, seperti Jakarta, Tangerang, Yogyakarta, Surabaya, Solo, dan Makassar. Kekerasan suporter itu sudah di luar nalar dan akal sehat. Mereka pergi menonton sepak bola seperti akan berangkat tawuran, dengan membawa senjata tajam. 
Polisi, misalnya, menahan 15 dari 38 suporter Persija, ”The Jakmania”, saat Persija kalah dari tamunya, Persipura. ”Kalau ada suporter yang melanggar hukum, kami dukung polisi. Sekali dibiarkan, mereka akan berulah lagi,” ujar Rico Rangga Mone, Ketua Harian Jakmania. 
Pendukung Persebaya alias bondo nekat (bonek) memiliki slogan yang amat mengerikan, ”Salam Satu Nyali. Wani!” Slogan ini sengaja dibuat untuk memotivasi bonek agar lebih berani dan nekat membela timnya. 
Kenekatan, kata Pembina Yayasan Suporter Surabaya (YSS) Wastomi Suhari, menjadi pilihan para bonek, bahkan ketika tahu nyawa merekalah taruhannya. ”Bagi anak-anak muda pendukung Persebaya, semakin banyak luka yang mereka punya semakin bangga mereka,” kata Wastomi. 

Selain faktor fanatisme suporter kepada klubnya, kinerja panitia pertandingan turut memengaruhi perilaku suporter. Sekretaris Jenderal Bomber Persib Nefi Effendi dan Ketua Viking Persib Heru Joko menyoroti kurang maksimalnya kinerja panitia dalam mempersiapkan sebuah laga. Heru mengeluhkan orientasi panitia penyelenggara pertandingan yang lebih mengejar keuntungan semata dan mengabaikan pelayanan kepada penonton. 
Lemahnya kinerja panitia pertandingan itu terlihat saat Persik Kediri menjamu Persib Bandung di Stadion Brawijaya, Kediri, 9 Februari. Saat itu seorang suporter tewas terjatuh dari tembok tribun stadion dan empat orang lainnya luka serius. Sebelum jatuh dan tewas, korban berkelahi dengan sesama suporter Persik atau ”Persikmania”. 
Perkelahian dipicu oleh kondisi stadion yang sesak karena diisi lebih dari 22.000 penonton atau melebihi kapasitas normal stadion yang hanya mampu menampung 15.000 orang. Membeludaknya penonton karena panitia menjual tiket melebihi kapasitas stadion dengan potongan setengah harga. 
Kondisi infrastruktur stadion yang tidak layak ikut mempermudah suporter berbuat rusuh. ”Setiap pertandingan kandang kami selalu mengimbau dan memeriksa anggota untuk tidak membawa batu atau benda-benda berbahaya lainnya,” ujar Eko Satriyo, Wakil Sekretaris Jenderal Brajamusti, kelompok suporter fanatik PSIM Yogyakarta. 
”Tetapi, saat di dalam stadion, mereka bisa mudah memperoleh batu dengan memecah ubin atau bagian-bagian stadion lain yang memang kondisi fisiknya memungkinkan untuk dijadikan batu,” ujar Eko. Pada 12 Februari saat PSIM menjamu PSS Sleman di Stadion Mandala Krida, Yogyakarta, meletus kerusuhan di dalam dan di luar stadion. 
Sejumlah suporter mengatakan, awal mula kerusuhan itu hanya saling lempar botol air mineral, batu, dan saling ejek antarsuporter. Eskalasi kerusuhan meluas setelah polisi melepaskan tembakan gas air mata ke arah suporter. Puluhan orang dilaporkan terluka akibat gas air mata itu serta lebih dari 50 kendaraan roda dua dan empat rusak. 
Menurut Eko, kerusuhan suporter bukan seratus persen kesalahan suporter. ”Ada sistem pembinaan sepak bola yang salah. Kalau sepak bola dijalankan sesuai dengan aturan, misalnya wasit adil dan profesional, saya yakin tidak akan ada keributan,” katanya. 
”Semangat kompetisi sepak bola yang seharusnya berproses dari pembinaan menuju prestasi, sekarang menjadi terbalik, prestasi dulu baru pembinaan. Ini membuat banyak klub menempuh jalur instan untuk mencapai prestasi,” kata Eko. 
Fenomena ”bonek” 
Dari sekian kasus kerusuhan suporter, fenomena suporter Persebaya Surabaya atau biasa dikenal dengan sebutan bonek sangat menyita perhatian. Salah satu kerusuhan yang melibatkan mereka adalah saat mereka ingin menyaksikan laga tandang Persebaya melawan Persib di Soreang, Bandung, 23 Januari. 
Meski Komisi Disiplin PSSI melarang bonek menonton laga itu, suporter Persebaya tetap berangkat ke Bandung. Sebagian besar naik kereta. Dalam perjalanan, mereka menganiaya wartawan di Solo dan menjarah pedagang kaki lima di Kulonprogo, Yogyakarta. Kerusuhan akibat lawatan bonek itu merenggut nyawa bonek karena terjatuh dari kereta dan menelan kerugian material lebih dari Rp 1 miliar. 
Wastomi mengaku sewaktu kecil hidup menggelandang dari Malang ke Surabaya, meniru suporter lain. ”Biasanya yang anak belasan tahun berangkat ke stadion tanpa alas kaki, bergelantungan di mobil, dan manjat stadion. Saya juga begitu. Modalnya hanya nekat,” ungkapnya. 
Para bonek juga terbiasa membohongi keluarganya guna menonton Persebaya bermain di kandang. ”Tentu waktu kecil harus berbohong karena enggak mungkin bilang ke orangtua. Mana ada orangtua kasih izin kalau tahu anaknya nekat,” ucap Fajar Isnu (24), yang sejak kecil sudah menonton Persebaya bermain kandang ataupun tandang. 
Meskipun nekat, menurut Wastomi, bonek hanya bereaksi ketika diprovokasi. Pada kasus pelemparan batu di Solo, misalnya, Wastomi bersikukuh bahwa mereka diprovokasi sehingga akhirnya membalas lemparan batu. Kasus penjarahan oleh bonek juga umumnya dilakukan segelintir orang. Wastomi menyebutkan, ada juga kelompok yang hanya memanfaatkan kesempatan dengan menggunakan atribut bonek. 
Bonek sendiri datang dari beragam profesi, seperti mahasiswa, wirausaha, dan pegawai negeri sipil. Di YSS, misalnya, setidaknya ada kelompok bonek mahasiswa, bonek motor, bonek Sawunggaling, dan bonek 89 yang diisi banyak penganggur.
BAB 3
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Dari uraian yang sudah saya sampaikan diatas, dapat saya simpulkan beberapa poin-poin tentang permasalahan persepakbolaan Indonesia sekarang ini. Poin-poin itu adalah:
1. Adanya mata rantai pembinaan usia muda yang terputus dalam tubuh persepakbolaan Indonesia. Hal ini yang paling utama yang menjadi penyebab semakin mundurnya kualitas sepakbola negeri kita.
2. Krisis ketua umum PSSI. Ini disebabkan tidak independennya ketua umum, sehingga pasti setiap keputusan yang ia ambil pasti mementingkan golongannya.
3. Masih tergantungnya setiap klub pada dana APBD. Bukannya membela LPI, tetapi ketergantungan pada APBD membuat klub tidak mandiri, dan juga menggerogoti APBD yang seharusnya dipakai untuk kesejahteraan rakyat.
4. Banyaknya suporter yang belum dewasa sehingga sering menimbulkan bentrokan dan mengakibatkan kerugian pada warga sekitar.
5. Campur tangan politik di tubuh PSSI.

Mungkin masih banyak hal yang seharusnya saya tuliskan dalam makalah ini. Tetapi, hanyalah beberapa hal tersebut yang dapat saya sampaikan. Mungkin masalah-masalah yang saya tulis dapat saya sebarkan di internet untuk mencari berbagai saran dari seluruh orang di dunia.





3.2 Saran-saran
Dalam situasi perkembangan sepakbola modern serta sejumlah problem pembinaan pemain usia muda, seluruh sekolah sepakbola (SSB) yang ada, perlu mengambil peran yang lebih optimal. Hal ini terjadi karena SSB kini praktis menjadi satu-satunya tempat bagi anak-anak dan remaja yang ingin belajar sepakbola. Jelas, bahwa di Indonesia saat ini, sulit rasanya mengharapkan anak-anak atau remaja bisa mahir bersepakbola tanpa berlatih di SSB.
Satu hal utama yang perlu dilakukan adalah menyediakan latihan usia muda berkualitas bagi anak-anak dan remaja yang terlibat di SSB. Sayangnya, di tengah membanjirnya SSB di Indonesia, tak banyak SSB yang dapat menyediakan latihan yang berkualitas. Tingginya angka siswa yang meninggalkan SSB di usia 13-14 tahun, merupakan indikasi bahwa tak banyak SSB yang sanggup menyajikan latihan berkualitas. Fakta ini dapat menimbulkan beberapa pertanyaan yaitu:
1. Bagaimana menjadikan sepakbola sebagai pemenuhan kebutuhan anak?
2. Bagaimana menciptakan latihan yang berkualitas secara psikis dan fisik?
3. Bagaimana menciptakan kempetisi yang memberikan kebebasan bermain pada
anak?
4. Bagaimana SSB menjadi kegiatan yang menarik dibanding kegiatan lainnya sehingga dapat memenuhi kebutuhan anak diluar sepakbola?
Beberapa pertanyaan diatas sebenarnya merupakan kritik otomatis terhadap SSB di Indonesia. Yakni bagaimana berbagai kegiatan yang ditawarka SSB tidak selalu relevan dengan kebutuhan utama anak. Oleh sebab itu, para pembina usia muda perlu mengubah fungsi, tugas, dan tanggung jawab SSB. Dan yang perlu disajikan SSB adalah:
1. Latihan berkualitas dan atraktif. Metode latihan harus memotivasi dan mengunggah kecintaan pada sepakbola. Banyak bersentuhan dengan bola dan tak banyak mengantri adalah hal penting.
2. Organisasi pertandingan yang fleksibel. Rangkaian pertandingan rutin yang memberi kesempatan seluas-luasnya bagi semua pemain untuk bermain. Bertanding setiap akhir pekan adalah harga mati.
3. Format turnamen yang inovatif. Kompetisi secara berkala yang terfokus pada individu. Bukan pada pencarian juara. Format kompetisi harus melibatkan sebanyak mungkin pemain, sehingga pemain dapat belajar dari kompetisi.
4. Kegiatan rekreasi non sepakbola. Kegiatan non sepakbola seperti team building, outing, atau , memainkan olahraga lain sangat penting untuk menunjang sepakbola.
Oleh karena itu, SSB dengan segala keterbatasan yang ada harus dapat mengambil peran yang vital. Sebab detak jantung pembinaan usia muda di Indonesia kini terletak pada SSB. Latihan berkualitas juga harus selalu dikembangkan oleh pelatih-pelatih SSB demi menjadikan SSB sebagai pencetak pemain masa depan berkualitas.





DAFTAR PUSTAKA
Sebuah Buku yang maha penting dalam makalah ini:
Putra, Ganesha. 2010. Kutak-katik Latihan Sepakbola Usia Muda. Jakarta: Visi Gala.
Sumber-sumber internet:
blog-apa-aja.blogspot.com diakses tanggal 18 Januari 2011
vanmovic.com diakses tanggal 18 Januari 2011
kompas.com (harian Kompas 18 Januari 2011) diakses pada tanggal 18 Januari 2011
mifturrahman.blogspot.com diakses pada tanggal 18 Januari 2011
vivanews.com diakses pada tanggal 18 Januari 2011
infosuporter.com diakses pada tanggal 18 Januari 2011
Republica.co.id diakses pada tanggal 20 Maret 2011
Bola.net diakses pada tanggal 18 Januari 2011

0 komentar: